Sebagai seseorang yang suka traveling, saya sering bertanya-tanya mengapa kota satu menarik lebih banyak wisatawan dibanding yang lain. Mengapa, misalnya, Bali jauh lebih populer dibanding Lombok? Mengapa Kyoto dan Bangkok lebih banyak didatangi daripada Singapura? Hari ini adalah hari terakhir saya di Hanoi, Vietnam, dan sepanjang perjalanan saya, saya terus membandingkan kota-kota dari perspektif pariwisata. Rasanya inilah saat yang tepat untuk merefleksikan pengamatan tersebut.
Pertanyaan pertama yang teman-teman saya tanyakan ketika saya bilang ingin pergi ke suatu tempat adalah apa yang bisa dilihat di sana, atau, dalam bahasa media sosial, “apa yang bisa dilakukan di kota X”. Apakah kota tersebut punya sesuatu yang cukup menarik untuk membuat kita ingin mengunjunginya? Jika iya, berapa banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sana? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan semuanya? Apakah cukup beragam sehingga selalu ada sesuatu untuk semua jenis wisatawan? Semakin banyak jawaban positif untuk pertanyaan-pertanyaan ini, semakin menarik kota tersebut bagi turis. Sebagai contoh, mari kita bandingkan Bangkok dan Hanoi. Butuh waktu berminggu-minggu untuk menjelajahi Bangkok—istana, kuil, pasar, pasar terapung, kehidupan malam, pusat perbelanjaan, hingga museum—yang juga berarti kota ini bisa melayani berbagai segmen wisatawan: backpacker menyukai Khao San Road dan street food murah; wisatawan kelas atas menikmati spa dan mall mewah; pecinta budaya mengunjungi kuil; dan pecinta kuliner menjelajahi aneka pasar. Sebaliknya, Hanoi lebih menarik bagi wisatawan yang mencari pengalaman otentik khas Vietnam dan sejarah, yang sebagian besar terpusat di kawasan kota tua dan hanya butuh beberapa hari untuk menjelajahinya. Hasilnya, Hanoi menarik sekitar 25 juta wisatawan (5,67 juta internasional) pada tahun 2024, sedangkan Bangkok menyambut 47,20 juta wisatawan (32,40 juta internasional dan 14,80 juta domestik).
Faktor kedua adalah infrastruktur dan aksesibilitas. Apakah mudah dan terjangkau untuk pergi serta menginap di destinasi tersebut? Berapa banyak pilihan transportasi dan akomodasi yang tersedia? Apakah perjalanan antar-spot dan penginapan dapat dinikmati? Sebuah destinasi bisa saja memiliki atraksi luar biasa, tetapi jika tidak memiliki bandara, jalan, hotel, atau layanan yang layak, sebagian besar turis akan kesulitan menikmatinya dengan nyaman. Saya menyadari hal ini ketika tahun lalu membawa teman-teman internasional ke Gunung Bromo dan Gunung Ijen di Jawa Timur. Mereka menyukai alam yang indah dan akomodasinya, tapi perjalanan darat yang panjang dan membosankan (perjalanan tol 6 jam) di antara kedua destinasi itu sangat melelahkan. Ditambah lagi perjalanan dari Bandara Juanda ke villa kami di Batu, dan dari Jember kembali ke bandara, total sekitar 8 jam. Ya, ada opsi bus dan kereta, tapi biasanya lebih lama atau kurang menyenangkan. Faktor ini, sampai batas tertentu, juga menjelaskan mengapa Singapura menarik lebih banyak pengunjung daripada Kuala Lumpur: Bandara Changi melayani lebih dari 100 maskapai yang menghubungkan ke lebih dari 160 kota global di berbagai kawasan besar (Asia, Eropa, Amerika Utara), dan banyak orang senang menjelajahi kota ini saat transit.
Selain dua faktor utama ini, wisatawan juga tertarik pada budaya, makanan, dan segala hal yang menawarkan pengalaman baru. ‘Budaya’ di sini tidak selalu berarti budaya tradisional, meskipun itu juga menjadi daya tarik. Kyoto dan Bali adalah contoh utama destinasi yang budaya tradisionalnya menjadi alasan utama wisatawan datang. Sementara Bangkok, meskipun juga punya pesona budaya, lebih disukai karena kehidupan malam dan makanannya. Contoh menarik lainnya adalah kawasan Kampong Gelam di Singapura dan Chiang Mai di Thailand. Bagi para penganut agama masing-masing, Masjid Sultan dan kuil Phra That Doi Suthep “hanyalah” tempat ibadah, tapi bagi orang lain, keduanya menawarkan pengalaman yang tidak bisa didapatkan di budaya dan negara asal mereka.
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah persepsi tentang keamanan dan stabilitas politik. Jika orang luar menganggap suatu kota berbahaya, kemungkinan besar mereka enggan berkunjung, meskipun penduduk setempat menganggapnya aman. Contoh terbaru adalah Thailand, di mana kedatangan turis Tiongkok menurun tajam setelah kasus penculikan yang banyak diberitakan di media Tiongkok, meskipun sebagian besar destinasi wisata di Thailand tetap aman dan ramah. Maka, menjaga citra yang baik juga sangat penting.
Hal itu membawa kita pada branding dan pemasaran. Dalam hal ini, di antara semua kota yang pernah saya kunjungi, Singapura menonjol meskipun atraksi alamnya relatif terbatas. Pembuatan patung Merlion dan bangunan ikonik seperti Jewel serta Gardens by the Bay memang luar biasa, tapi upaya branding dan pemasarannya bahkan lebih mengesankan. Kota ini tidak hanya mempromosikan dirinya secara global melalui iklan TV, billboard, kerja sama dengan maskapai, dan kantor pariwisata di seluruh dunia, tetapi juga bermitra dengan maskapai seperti Malaysia Airlines dan aplikasi traveling seperti Agoda untuk membuat paket penerbangan, hotel, dan atraksi. Selain itu, mereka juga menyewa micro-influencer untuk menghasilkan jutaan impresi kampanye di media sosial dan diam-diam mendukung mega-event seperti konser musik (bahkan syuting video musik) serta acara olahraga. Kalau ditotal, upaya branding dan pemasaran ini—yang menghabiskan ratusan juta dolar setiap tahunnya—membuat Singapura tetap sangat populer meskipun atraksi alamnya terbatas, dan berhasil menarik 13,6 juta wisatawan internasional pada tahun 2024, angka yang melampaui banyak negara Asia Tenggara lainnya jika dibandingkan dengan ukurannya.
Saat saya bersiap meninggalkan Hanoi dan merenungkan pola-pola yang saya amati tersebut, jelas bahwa setiap kota punya potensi untuk menarik lebih banyak wisatawan, atau, jika dilihat lebih kritis, banyak kota sebenarnya underperform. Mereka gagal mengenali keunikannya dan tidak tahu bagaimana memposisikan diri secara konsisten di pasar pariwisata. Untuk membuktikan hal ini, saya berencana menulis proposal tentang peningkatan pariwisata di kampung halaman saya, Kediri, dengan menggunakan kerangka di atas. Untuk Anda, pembaca saya, lain kali ketika Anda merasa tertarik pada suatu destinasi, coba tanyakan pada diri Anda: kombinasi faktor apa yang sebenarnya menarik Anda ke sana?